Tuesday, February 5, 2008

Miskinnya dunia penelitian Indonesia

Beberapa Artikel yang terbit di media baru-baru ini sangat menggelitik untuk di cermati. Secara tidak langsung artikel-artikel tersebut mengemukakan tentang miskinnya dunia penelitian di Indonesia.
Di dalam sebuah seminar nasional terungkap bahwa pada tahun 2007 saja, hanya lima peneliti asal Indonesia yang memiliki publikasi internasional. Jika masih ingin dikatakan bahwa publikasi di jurnal internasional sebagai barometer daya saing Indonesia di dunia sains internasional maka, well, think again!.
Recent surveys revealed bahwa jika dibandingkan dengan Negara-negara tetangganya di Asia saja, Indonesia duduk dalam peringkat dibawah Negara-negara seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Data dari LIPI pada tahun 2004, Indonesia hanya memiliki 371 publikasi ilmiah di jurnal internasional, whereas, Malaysia mampu menerbitkan 700 publikasi, serta Thailand dan Singapura yang mampu menghasilkan 2.125 dan 3.086 publikasi ilmiahnya di jurnal internasional, imagine!
Selanjutnya, Data yang ada juga menyebutkan, kontribusi Indonesia pada jurnal internasional hanya 0,012 persen. Angka ini lebih rendah dibanding Nepal yang mampu menyumbang 0,014 persen ! Lalu beberapa alasan behind it pun dikemukakan. Namun pada dasarnya semua itu saling berhubungan dan tidak merupakan satu-satunya alasan di balik miskinnya dunia penelitian di negeri ini. Jika dikatakan penyebabnya adalah kurangnya kompetensi kita untuk melakukan penelitian sebagaimana dilansir oleh salah satu media bahwa hanya 1,1persen saja dosen yang layak meneliti. But then again, kita juga harus bertanya apakah kita juga punya cukup keinginan untuk melakukan penelitian? Hal ini menurut media lainnya dapat diindikasi dari banyaknya para akademisi dan peneliti yang sibuk dengan jabatan strukturalnya dan kegiatan di luaran baik sebagai konsultan dan asesor. Selanjutnya ada usulan yang sepertinya reasonable dan wajar yaitu apabila calon guru besar yang seorang doktor wajib memiliki minimal satu publikasi ilmiah internasional. Alasan ekonomi nampaknya masih menjadi factor utama dari semuanya. Baru-baru ini pemerintah menurunkan dana Ristek dan LPND (lembaga pemerintah non departemen) untuk tahun anggaran 2008 sebesar 15 persen. Akibatnya lembaga penelitian besar di Indonesia seperti LIPI pun harus memangkas biaya penelitiannya. Pengurangan 15 persen dari 500 miliar itu hampir 85 miliar which is a huge amount yang cukup membuat para peneliti semakin mengencangkan ikat pinggangnya bila masih ingin melakukan penelitian.
Direktur Pusat Penelitian Kimia LIPI, L. Broto S. Kardono, Ph.D. mengatakan, rasio anggaran litbang nasional terhadap produk domestik bruto (PDB) semakin turun. Sebagai contoh perbandingan rasio anggaran pada 1969 sebesar 0,19 persen, lalu pada 1982 sebesar 0,5 persen. Padahal, di negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Norwegia, Jepang, dan Korea Selatan, anggaran litbang nasional mereka terus meningkat. Sepertinya negeri ini belum faham bahwa riset dan edukasi adalah investment for the future, tentu saja hasilnya tidak dapat dirasakan secara instantly. Meski disebutkan bahwa visi Indonesia pada 2025 adalah untuk menggunakan iptek sebagai kekuatan utama bangsa namun kenyataan yang ada tidak mencerminkan upaya untuk menuju apa yang dicita-citakan.

2 comments:

Midget&Giant said...

Tom, prihatin ya. SDM kita juga sebenarnya gak kalah oke dan pintar nya sudah teruji, lantas apa yang salah? minimnya dana kah? Saya berharap mulai detik ini kita bisa melakukan apa yang kita bisa dari hal yang kecil sekalipun. Berjayalah Indonesiaku

Unknown said...

slm kenal, sy sngat memerlukan informasi atau sngat ingin menghubungi sdri rieska tania, apakah anda bisa membantu saya???