Wednesday, July 29, 2020

Journeys of Enlightenment


Pada tahun 1817, seorang wanita muda berumur 17 tahun, terpelajar dan berasal dari keluarga  kelas menengah di Prancis menyamar menjadi seorang pria dan naik ke atas kapal Uranie yang akan berlayar mengeksplorasi belahan Bumi bagian Selatan untuk mendampingi suaminya. Yang dibawanya saat itu hanyalah, seperangkat alat tulis, gitar dan alat-alat kebersihan pribadi. Sejarah kemudian mencatatnya sebagai salah satu dari beberapa wanita yang pernah berlayar mengitari bumi. Wanita pemberani tersebut bernama Rose de Freycinet, dengan setianya mendampingi suami dalam rangka ekspedisi menjelajah tanah baru. Rose sangat rajin mengisi buku hariannya selama perjalanan tersebut. Dengan baiknya dia mendeskripsikan setiap tempat baru yang mereka datangi di dalam buku hariannya. Buku harian tersebut adalah salah satu barangnya yang selamat dari puing-puing kapal mereka yang karam. Pada tahun 1962, buku hariannya yang berbahasa Prancis tersebut diterjemahkan dan dipublikasikan. Salah satu cerita yang cukup menarik adalah ketika mereka mendarat di new Hollandia atau yang sekarang kita kenal dengan Australia. Pada Bulan September 1824 kapal mereka berlabuh di daerah pesisir sekitar Australia Barat dan mendirikan camp. Daerah dimana camp ini didirikan tetap menjadi misteri sampai pada tahun 2005 para scientist dan sejarahwan Australia berhasil menemukan lokasi dimana camp tersebut pernah ddirikan berdasarkan catatan buku harian Rose serta lukisan seniman kapal. Daerah itu bernama Shark Bay, Western Australia. Di buku hariannya, tertanggal, Sepetember 1824, Rose menulis bahwa dia agak tidak nyaman berada disana. Selain udara yang sangat panas, daerahnya juga hampir tidak bervegetasi. Saat siang mulai berlalu ia biasa berjalan diatas pasir yang masih panas sambil mengumpulkan Kerang laut yang mana kemudian menjadi kolesinya yang sangat bagus  menurutnya. Pada 1835 Rose meninggal pada usia 35 tahun karena menderita kolera, setelah sebelumnya ia merawat suaminya yang menderita penyakit yang sama.


Penggalan cerita tadi hanyalah sebagian materi pameran yang ada di pameran berjudul “Journeys of Enlightment: French Exploration of Terres Australes” yang digelar di museum maritim di Fremantle, Western Australia 17 Oktober 2008.. Selain menampilkan sisi romatika sejarah seperti kisah Rose diatas, juga ditampilkan sejarah perkembangan sains terutama di bidang eksplorasi dan taksonomi flora dan fauna terutama di Australia. Caroleus Linnaeus, Bapak taksonomi modern tersebut juga ‘hadir’ sebagai salah satu ‘pemateri’. Sketsa dan gambar asli dari herbarium awal flora Australia seperti Anigozanthes, Eucalyptus, dan Banksia repens juga ditampilkan yang tertanggal tahun 1766. Juga ditampilkan beberapa peta, catatan harian langka serta buku terbitan asli edisi pertama karya-karya besar seperti buku taksonomi Linnaeus tahun 1788. Selain itu juga ada awetan berbagai macam hewan selama ekspedisi-ekspedisi tersebut seperti awetan ular laut, burung elang, kepiting, serta berbagai mamalia dan reptilian lainnya. Yang cukup menarik adalah ketika mengunjungi tempat display Rose. Disana ada replica tenda yang pernah digunakan Rose saat berada di Shark Bay, tenda berwarna putih dengan tinggi hampir 3 meter berbentuk seperti tumpeng dengan bendera putih diatasnya adalah replica yang dibuat berdasarkan lukisan seniman kapal yang juga melukis Rose didepan tendanya. Yang juga kemudian menginspirasi replica satu setel pakaian yang pernah dikenakan Rose yang juga ditampilkan dipameran ini. Pakaian tersebut dipasang di mannequin yang juga dbuat berdasarkan interpretasi lukisan tersebut. Anggun, itulah kesan yang pertama kali akan kita dapati. Dan saat kita mendekati display salah satu halaman dari buku harian aslinya tiba-tiba terdengar suara wanita yang seolah-olah seperti Rose sendiri yang sedang menceritakan isi buku hariannnya pada bagian ketika mereka berada di Shark Bay.


Monday, July 8, 2019

Liang Bua dan Homo Floresiensis


Saat melakukan ekspedisi untuk memetakan distribusi pohon gaharu di Pulau Flores, kami mendatangi Kota Ruteng, Kota beriklim sejuk, yang terletak di dataran tinggi Flores dengan elevasi sekitar 1400 m diatas permukaan laut ini memiliki keindahan alam yang luar biasa. Selain berdekatan dengaan kawasan Gunung Api Ranaka, Ruteng juga dekat dengan sebuah situs arkeologi bernama Liang Bua.Liang Bua dapat di tempuh sekitar 30 menit perjalanan dengan kendaraan dari Kota Ruteng.

Saat sampai di liang  bua kami beruntung dapat menyaksikan proses
penggalian yangsedang berlangsung disana. Saat kami tiba, sedang 
dilakukan penggalian yang menemukan tulang seperti nampaknya tulang 
lengan dan kaki. Saya pun berkenalan dengan Page, salah satu dari tim
peneliti yang sedang melakukan kegiatan penggalian dan
penelitian. Page adalah juga seorang mahasiwi kandidat PhD di Arizona
State University. Saya bertanya apakah Homo Floresensis ini sudah
terverifikasi oleh dunia ilmiah karena yang saya baca saat itu masih ada
pro dan kontra mengenai whether or not tulang yang ditemukan diisni yang disebut sebagai homo flresensis adalah jenis hominoid baru yang beda dengan hominoid lainnya. Page mengatakan awalnya memang da banyak pro kontra saat pertama kali paper mengenai homo baru ini muncul di sebuah jurnal internasional bereputasi. Namun saat ini things are cooling dowdan nampaknya homo Floresensis sudah mulai perlahan diakui sebagai temuan hominoid baru. Menurut Page yang membedakan yang cukup menonjol adalah ukuran tubuhnya yang lumayan kecil dibandingkan homo lainnya (homo erectus). Homo Floresnesis yang yang cukup lengkap ditemukan bernama ‘Flo’ ini tingginya hanya setinggi pinggang manusia dewasa atau sekitar 100 cm saja. Sehingga Homo Floresnesis ini juga dijuluki sebagai “The Hobbit of Flores”. Penelitian di Liang Bua sudah berjalan hampir selama 20 tahun. Setiap tahunnya tim gabungan peneliti datang kesini dan melakukan kegiatan selama 3 bulan, mereka akan tinggal di Ruteng selama aktivitas penelitiannay di Liang Bua. Kami juga sempat berkenalan dengan anggota tim peneliti lainnya dari Universitas Udayana di Bali. Lalu saya juga menanyakan kepada page apakah tipe habitat yang digunakan oleh Flo ini, apakah savanna, padang rumput ataukah hutan? Karena ada sebuah artikel di jurnal yang saya baca yang berargumen bahwa savanna atau padang rumptlah tipe habitat pertama yang menjadi habitia manusia purba dan bukan hutan. Jika melihat dari kondisi vegetasi saat ini disekitar situs liang bua nampak jelas ada pernah sisa-sisa padang rumput disana. Hal ini sangat mungkin karena di Pulau Flores kita masih dapat menemukan hamparan padang rumput atau savanna yang luas di banyak tempat di Flores. Seperti diSatar Cuwe. Satar dalam bahsa lokal daerah Flores adalah padang rumput. Savanna atau padang rumput ini dapat bertransisi menjadi hutan sekunder atau seasonaly dry tropical forest, merujuk pada hasil riset saya di Baluran Jawa Timur (Sutomo, & van Etten, E. (2016). Unfolding Structure of Lowland Seasonal Tropical Dry Forest and Transition of Savanna in Indonesia. Paper presented at the EcoSummit 2016. Ecological Sustainability: Engineering Change. from http://www.ecosummit2016.org/). 



Wednesday, May 29, 2019

Paper terbaru mengenai Forest Monitoring

Selain menggunakan teknologi remote sensing, Monitoring Hutan dapat pula dilakukan dengan metode plot permanen untuk mengumpulkan data dinamika vegetasi hutan secara berkelanjutan dan jangka panjang. Paper kami terbaru ini memaparkan mengenai kesempatan dan tantangan di dalam melakukan penelitian monitoring hutan di Indonesia. Untuk mendapatkan full text dapat klik link berikut:

Opportunities and challenges for an Indonesian forest monitoring network

https://www.researchgate.net/publication/333078646_Opportunities_and_challenges_for_an_Indonesian_forest_monitoring_network

https://link.springer.com/epdf/10.1007/s13595-019-0840-0?author_access_token=PuzOQl9--8iQRwI7Hg4YyPe4RwlQNchNByi7wbcMAY44mZu08lg0gKYMM72nDEoGNKXo2vfqO811PwJeToRUBpSEcQ7pKj5Iza4AmPeoK-2v74SLh2V-6f09UWzwfLFIQpxRqvKggh586BSosksVyg%3D%3D

 

Sunday, March 3, 2019

Early 2019 papers



https://smujo.id/td/article/view/3197/2622



https://ojs.unud.ac.id/index.php/metamorfosa/article/view/46983/28346

Sunday, December 2, 2018

Buku baru tentang Ekologi Bedugul

Southest Asia Regional Centre for Tropical Biology SEAMEO – BIOTROP menyelenggarakan International Conference for Tropical Biology ke-3 di Bogor pada tanggal 20 dan 21 September 2018 dengan mengusung tema Conservation, Enhancement and Sustainable Use of Indigenous Tropical Flora and Fauna. Acara yang rutin diselenggrakan setiap dua tahun ini, untuk yang ke-3 ini terasa istimewa karena juga bertepatan dengan anniversary SEAMEO-BIOTROP ke-50. 
Salah satu rangkaian acara utama dalam ICTB-3 dan perayaan 50 tahun Biotrop ini adalah acara peluncuran Buku oleh dua penulis  Affiliate Scientist Biotrop yaitu Dr. Sutomo, M.Sc. dari Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI dengan buku berjudul “Ecology of Bedugul Basin Bali” dan Prof Rene Reyes dari Central Luzon State University Philipina dengan buku berjudul “Mushroom pharming”. 
Buku Ekologi Bedugul setebal 94 halaman tersebut adalah kolaborasi Dr. Sutomo dengan penulis lainnya yaitu Ir. I Dewa Putu Darma
, Dr. Wawan Sujarwo, Arief Priyadi, M.P., Rajif Iryadi, S.Si dan Farid K S.Si. Buku ini adalah bunga rampai kegiatan-kegiatan penelitian ekologi dan etnobotani yang dilakukan di kawasan cekungan terkungkung Bedugul dari semenjak tahun 2005 sampai dengan 2017. Diharapkan ke depannya buku ini dapat berkontribusi dalam melengkapi informasi ilmiah mengenai kawasan Bedugul sehingga dapat terwujud sustainable management yang mengintegrasikan berbagai aspek terutama aspek lingkungan.


Tuesday, October 23, 2018

ETNOEKOLOGI TUMBUHAN PEWARNA DI NUSA PENIDA


Nusa Penida adalah Pulau yang terletak disebelah Tenggara Pulau Bali, dipisahkan oleh Selat Badung. Selain NP terdapat pulau Pulau Nusa Ceningan dan Nusa Lembongan yang kesemuanya termasuk dalam Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung Provinsi Bali.
Pulau Nusa Penida sebgaian besar kawasannya adalah kawasan Karst. Topografi karst adalah bentukan rupa bumi yang unik dengan kenampakan atau fenomena khas akibat proses pelarutan dan pengendapan kembali CaCO3 diatas dan dibawah permukaan bumi. Jenis tanah yang dominan di Pulau Nusa Penida adalah jenis tanah mediteran coklat merupakan jenis tanah yang bahan induknya berupa batuan kapur.
Di Pulau Nusa Penida tidak terrdapat adanya sungai. Sebagai sumber air, penduduk setempat hanya memanfaatkan beberapa mata air yang tidak banyak serta menampung air hujan pada cubang-cubang. Umumnya musim kering bertahan lebih lama dibanding musim hujan. Dengan demikian air menjadi sumber permasalahan yang utama di Nusa Penida. Berdasarkan kalisifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson Nusa penida termasuk dalam kategori tipe iklim E (agak kering) dimana pada bulan basahnya hanya terdapat presipitasi maksimal 60 mm atau dibawahnya.
Penelitian dilakukan di beberapa desa di Pulau Nusa Penida. Lokasi penelitian secara topografi bervariasi yaitu dari mulai elevasi 17 meter diatas permukaan laut hingga ke puncak tertinggi di Pulau Nusa Penida yaitu Bukit Mundi pada ketinggian 529 mdpl. Pada Bulan Oktober saat kami melkaukan penelitian, rerata suhu udara adalah 31-39 C dengan kelembaban udara berkisar antara 62 sampai dengan 77%. Pada tanah – tanah dimana terdapat vegetasi yang kami ukur, pH selalu ada pada rentang nilai 7 atau netral dengan kelembaban tanah yang rendah yaitu antara 2 sampai dengan 30%.

Pada desa – desa seperti Sompang, Mundi, Bayuh dan Karangsari, dibuat plot pengamatan jenis tumbuhan, utamanya jenis tumbuhan target yaitu sumber pewarna alami serta jenis-jenis lainnya yang ada disekitarnya. Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan diantara desa-desa tersebut dalam hal komposisi jenis tumbuhannya. Sebagai contoh, Desa Sompang dan Desa Mundi meiliki tingkat ketidakmiripan yang tinggi sekitar 70% dalam hal komposisi jenis tumbuhan. Dimana di Desa Sompang ditemukan jenis Gosypium atau kapas meksiko yang merupakan sumber utama untuk pembuatan benang untuk kerjainan kain tradisional Nusa Penida, sedangkan di Desa Mundi jenis ini tidak ditemukan. Sedangkan di Desa Mundi, dijumpai adanya jenis Artocarpus yang merupakan salah satu jenis pewarna alami untuk kain tradisional tersebut, dimana di desa Sompang jenis tumbuhan ini tidak dijumpai. 






Tuesday, July 31, 2018

Publikasi Species Distribution Modelling menggunakan BCCVL

Sutomo & van Etten E. (2017) Species distribution model of invasive alien species Acacia nilotica for Central-Eastern Indonesia using Biodiversity Climate Change Virtual Laboratory (BCCVL). Tropical Drylands 1, 36-42.

Fulltext: https://smujo.id/td/article/view/1644/1580