Wednesday, July 23, 2008

1000 tahun "kelahiran" Merapi

Merapi is one of Indonesia's most active volcanoes. This stratovolcanic mountain (formed by layers of lava from successive eruptions) has a summit that reaches over 2900 m in altitude. Merapi lies in the densely populated province of Central Java and Jogjakarta. The name Merapi is believed to be derived from the words ‘Meru’ (mountain) and ‘Api’ (fire). Merapi is much more than just a mountain to the people of central Java. It is seen as a representation of the sacred Mount Meru of Hindu mythology, or as the home of more ancient Javanese spirits, and as one of the forces governing the fortunes of the old royal city of Yogyakarta, along with Ratu Kidul, the treacherous goddess of the south seas. The mountain of fire has been recorded as a highly active volcano with its first eruption and appearance and ever recorded chaotic eruption in 1006 (Van Bemmelen, 1970). The most recent eruption was in 2006 (or 1000 years after its first eruption)
Kini setelah lebih dari 1000 tahun, apa yang terjadi dengan Merapi?
Hingga kini diperkirakan hutan yang rusak diperkirakan lebih dari 1.300 hektar. Kerusakan ini sebagian besar diakibatkan oleh aktivitas vulkanik maupun tren perubahan iklim dengan ENSO nya yang banyak menyebabkan kebakaran hutan. Aktivitas vulkanik gunung ini memang ibarat dua sisi mata uang. Seperti diyatakan oleh Gertz seorang pakar antropologi bidang ekologi Indonesia: “ Gunung-gunung berapi di Jawa sepanjang sejarah telah merupakan sumber bagi kehidupan-melahirkan kesuburan tanah maupun air yang diberikan oleh abu dan asap gunung-gunung berapi tersebut. Namun juga sumber kematian-yang disebabkan oleh gas beracun, awan panas, banjir lahar akibat meletusnya gunung-gunung tersebut pula”.
Selain itu aktivitas ekstraksi hasil hutan pun terus berlanjut. Serta aktivitas penambangan pasir vulkanik. Mengenai kekayaan bahan Tambang di kawasan Merapi, seperti penuturan Chafied Fandeli Dosen Fakultas Kehutanan UGM “ekosistem Hutan Gunung Merapi-Merbabu menghasilkan Sumber Daya Alam yang melimpah, berupa bahan tambang mineral golongan C. Dalam sekali meletus skala kecil saja, Gunung Merapi mengeluarkan pasir dan batu sekitar 10 juta meter kubik. Nilai pertambangan dari mineral golongan C tersebut mencapai Rp 357.984.000,- “ (Kompas, 24 September 2002).
Lalu adanya konflik sosial mengenai status kawasan yg kini oleh pemerintah ditetapkan sebagai kawasan taman nasional.
Selanjutnya, meski berdekatan dengan pusat ilmu pengetahuan terbesar di Indonesia namun Merapi masih kurang dipelajari. Penelitian ilmiah jangka panjang yang telah diadakan terbatas pada sektor vulkanik, namun tidak ada penelitian ilmiah jangka panjang untuk memahami lingkungannya. Hal ini sangat disayangkan karena sebenarnya Merapi dapat dijadikan sebuah “laboratorium alam” yang unik untuk penelitian-penelitian dibidang Kehutanan, Botani, Geologi, Agronomi, Geografi, Ekologi dan Antropologi, dan bahwasanya laboratorium alam ini kurang dimanfaatkan oleh para sarjana yang menetap di yogya mencerminkan salah satu kelemahan dunia akademis di Indonesia (Handojo, 1985).

No comments: