Kini setelah lebih dari 1000 tahun, apa yang terjadi dengan Merapi?
Hingga kini diperkirakan hutan yang rusak diperkirakan lebih dari 1.300 hektar. Kerusakan ini sebagian besar diakibatkan oleh aktivitas vulkanik maupun tren perubahan iklim dengan ENSO nya yang banyak menyebabkan kebakaran hutan. Aktivitas vulkanik gunung ini memang ibarat dua sisi mata uang. Seperti diyatakan oleh Gertz seorang pakar antropologi bidang ekologi Indonesia: “ Gunung-gunung berapi di Jawa sepanjang sejarah telah merupakan sumber bagi kehidupan-melahirkan kesuburan tanah maupun air yang diberikan oleh abu dan asap gunung-gunung berapi tersebut. Namun juga sumber kematian-yang disebabkan oleh gas beracun, awan panas, banjir lahar akibat meletusnya gunung-gunung tersebut pula”.
Selain itu aktivitas ekstraksi hasil hutan pun terus berlanjut. Serta aktivitas penambangan pasir vulkanik. Mengenai kekayaan bahan Tambang di kawasan Merapi, seperti penuturan Chafied Fandeli Dosen Fakultas Kehutanan UGM “ekosistem Hutan Gunung Merapi-Merbabu menghasilkan Sumber Daya Alam yang melimpah, berupa bahan tambang mineral golongan C. Dalam sekali meletus skala kecil saja, Gunung Merapi mengeluarkan pasir dan batu sekitar 10 juta meter kubik. Nilai pertambangan dari mineral golongan C tersebut mencapai Rp 357.984.000,- “ (Kompas, 24 September 2002).
Selanjutnya, meski berdekatan dengan pusat ilmu pengetahuan terbesar di Indonesia namun Merapi masih kurang dipelajari. Penelitian ilmiah jangka panjang yang telah diadakan terbatas pada sektor vulkanik, namun tidak ada penelitian ilmiah jangka panjang untuk memahami lingkungannya. Hal ini sangat disayangkan karena sebenarnya Merapi dapat dijadikan sebuah “laboratorium alam” yang unik untuk penelitian-penelitian dibidang Kehutanan, Botani, Geologi, Agronomi, Geografi, Ekologi dan Antropologi, dan bahwasanya laboratorium alam ini kurang dimanfaatkan oleh para sarjana yang menetap di yogya mencerminkan salah satu kelemahan dunia akademis di Indonesia (Handojo, 1985).
No comments:
Post a Comment