Dalam Bahasa Indonesia, istilah agroforestry dikenal pula dengan istilah wanatani, dalam arti sederhananya adalah metode bertani dengan menanam pepohonan hutan di lahan pertanian. Sistem ini sebenarnya telah dipraktekkan oleh para petani di berbagai tempat di Indonesia selama berabad-abad, misalnya yang dikenal dengan ladang berpindah, kebun campuran di lahan sekitar rumah (pekarangan) dan padang penggembalaan. Menurut De Foresta et al.(1997), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah menanam pepohonan secara tumpang-sari dengan satu atau beberapa jenis tanaman semusim. Jenis-jenis pohon yang ditanam bisa bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet, cengkeh dan jati atau bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Sedang jenis tanaman semusim misalnya padi, jagung, palawija, sayur-mayur dan rerumputan atau jenis tanaman lain seperti pisang, kopi dan kakao. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan atau ditanam berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar. Sistem agroforestri kompleks, merupakan suatu sistem pertanian menetap yang berisi banyak jenis tanaman (berbasis pohon) yang ditanam dan dirawat dengan pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini tercakup beraneka jenis komponen seperti pepohonan, perdu, tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder.
Proses-proses ekologis yang sebenarnya selama ini telah dikelola oleh para petani terdapat di dalam penerapan sistem agroforestri ini. Kegiatan-kegiatan yang ada di dalamnya mengacu pada suatu landasan teori-teori ekologis yang belum banyak diketahui dan selama ini hanya berangkat dari trial and error saja oleh para petani, lalu seperti apakah landasan teori tersebut ? Tulisan selanjutnya akan mencoba menjabarkan beberapa aplikasi landasan ekologis di dalam salah satu kegiatan-kegiatan agroforestri.
Tumpang Sari; Interaksi Pepohonan-Tanaman Semusim-Tanah
Menanam pohon secara tumpangsari dengan tanaman semusim, pada satu tempat dan waktu yang bersamaan maupun bergiliran (sistem bera), merupakan pola dasar sistem agroforestri. Pada sistem agroforestri terjadi interaksi yaitu adanya proses yang saling mempengaruhi dari komponen-komponen penyusun agroforestri.
Interaksi tersebut bisa positif (komplimentasi) atau negatif (kompetisi). Oleh karena itu dalam memilih jenis pohon yang menjadi komponen agroforestri harus didasarkan pada sifat dan bentuk pohon yang berpengaruh terhadap tanaman semusim, apakah merugikan atau menguntungkan.
Beberapa pengaruh pohon yang merugikan bila ditanam secara tumpangsari dengan tanaman semusim antara lain:
1. Kompetisi cahaya
Pohon biasanya tumbuh lebih tinggi daripada tanaman semusim, oleh karena itu kanopi pohon akan menaungi tanaman semusim.
2. Kompetisi air dan hara
Akar pepohonan dan tanaman semusim yang berkembang di lapisan yang sama akan saling berebut air dan hara sehingga mengurangi jumlah yang dapat diserap tanaman semusim. Kompetisi antara dua jenis tanaman terjadi bila kedua jenis tanaman (atau lebih) membutuhkan sumberdaya yang sama dan ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan tersebut terbatas. Tanaman yang pertumbuhannya cepat membutuhkan cahaya, air dan hara yang lebih banyak. Oleh karena itu pemilihan pohon dalam sistem agroforestri harus mempertimbangkan kecepatan tumbuhnya serta kebutuhan tanaman lain yang tumbuh pada lahan yang sama.
3. Inang penyakit
Seringkali pepohonan dapat menjadi inang hama dan penyakit untuk tanaman semusim.
Selain pengaruh yang merugikan diatas, tumpang sari juga dapat menguntungkan karena beberapa sebab seperti berikut :
1. Sumber bahan organik
Daun pepohonan yang gugur dan hasil pangkasan yang dikembalikan ke dalam tanah dapat menjadi rabuk sehingga tanah menjadi remah. Berapa banyaknya masukan daun gugur setiap tahunnya?
2. Menekan gulma
Naungan pohon dapat menekan pertumbuhan gulma terutama alang-alang dan menjaga kelembaban tanah sehingga mengurangi risiko kebakaran pada musim kemarau. Adanya naungan dari pohon dapat memberikan keuntungan bagi tanaman tertentu yang menghendaki naungan misalnya kopi.
3. Mengurangi kehilangan hara
Akar pepohonan yang dalam dapat memperbaiki daur ulang hara, melalui beberapa cara, antara lain:
· Akar pohon menyerap hara di lapisan atas dengan jalan berkompetisi dengan tanaman pangan, sehingga mengurangi pencucian hara ke lapisan yang lebih dalam. Namun pada batas tertentu kompetisi ini akan merugikan tanaman pangan.
· Akar pohon berperan sebagai "jaring penyelamat hara" yaitu menyerap hara yang tidak terserap oleh tanaman pangan pada lapisan bawah selama musim pertumbuhan.
· Akar pohon berperan sebagai "pemompa hara" terutama pada tanah-tanah subur, yaitu menyerap hara hasil pelapukan mineral/batuan induk pada lapisan bawah. Namun hal ini masih bersifat hipotesis, dan masih perlu penelitian lebih lanjut.
4. Memperbaiki porositas tanah
Akar pepohonan berperan memperbaiki struktur tanah dan porositas tanah, misalnya akar pohon yang mati meninggalkan lubang pori.
5. Menambat N dari udara
Pohon berbunga kupu-kupu (legume) dapat menambat N langsung dari udara, sehingga dapat mengurangi jumlah pupuk yang harus diberikan.
6. Menekan serangan hama & penyakit
Ada pepohonan yang dapat mengurangi populasi hama dan penyakit tertentu.
7. Menjaga kestabilan iklim mikro
Pepohonan yang ditanam cukup rapat dapat menjaga kestabilan iklim mikro, mengurangi kecepatan angin, meningkatkan kelembaban tanah dan memberikan naungan parsial (misalnya Erythrina (dadap) pada kebun kopi).
8. Mengurangi bahaya erosi
Untuk jangka panjang mengurangi bahaya erosi, melalui pengaruhnya terhadap perbaikan kandungan bahan organik tanah dan struktur tanah.